Minggu, 04 Mei 2014

Sejarah Monumen Soerjo ngawi


Sejarah Monumen Soerjo Ngawi



Raden Mas Tumenggung Ario Soerjo atau sering disebut Gubernur Suryo atau RM Suryo lahir diMagetan pada tanggal 9 Juli 1898. Ayahnya bernama Raden Wiryo Sumarto dan ibunya bernama Raden Ayu Kustiah. RM Suryo menempuh pendidikan di HIS (Hollandsch Inlandsch School) dan OSVIA (Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren).

Pada bulan November 1948, Presiden Soekarno Memanggil Gubernur dari seluruh Indonesia, dan berkumpul di Yogyakarta (saat itu ibu kota negara masih di Yogyakarta). Nah, saat perjalanan pulang ke Surabaya, Gubernur Soerjo dicegat oleh gerombolan PKI ( Partai Komunis Indonesia ) di hutan jati desa Sidolaju, kecamatan Kedunggalar, kabupaten Ngawi.

Di situ, Gubernur Soerjo di seret keluar mobil, dua perwira polisi pun juga diperlakukan sama. Mereka di telanjangi, dan dibunuh, mobil yang di tumpangi juga di bakar. Mayat Gubernur Soerjo dan dua orang perwira polisi itu dibiarkan begitu saja, dan pagi harinya ditemukan oleh seseorang yang sedang mencari kayu bakar.
Akhiranya Gubernur Soerjo dimakamkan dimakam Sasono Mulyo, Sawahan, Kabupaten Magetan. Untuk mengenang jasa beliau, didirikanlah sebuah monumen berupa patung Gubernur Soerjo dan dua orang perwira polisi. Patung Gubernur Soerjo menunjuk kearah utara, yaitu kearah sebuah prasasti yang menandakan tempat dibunuhnya Beliau dan dua orang perwira polisi.
Sebagai tempat wisata harian, Monumen Soerjo sering dikunjungi para wisatawan yang sedang melakukan perjalanan, karena tempatnya yang sangat strategis, yaitu di sebelah selatan jalan raya Solo-Ngawi.

Kebersamaan kita di monumen soerjo




Persinggahan Mbah Jeplak


Persinggahan Mbah Jeplak



 gambar tempat persinggahaan mbah jeplak

Menurut mbah parto parlan sang juru kunci persinggahan mbah jeplak, mbah jeplak singgah atau beristirahat di desa legundi kecamatan karangjati kabupaten ngawi bersama soso truno . Mbah jeplak  dan soso truno  berasal dari kerajaan mataram. Kerajaaan mataram kuno adalah kerajaan zaman hindu yang banyak meninggalkan sejarah.

Bekas istirahat mereka digunakan oleh masyarakat setempat untuk memuja hal-hal yang baik,tetapi makam mbah jeplak tidak dimakamkan disitu. Jika ingin meminta sesuatu yang baik biasanya orang-orang membawa bunga untuk menghormatinya ,tanpa meminta imbalan apa pun. 

gambar persinggahan mbah jeplak

Bapak parto parlan berserta istrinya

saat kita wawancara

Sumber : -

Kamis, 01 Mei 2014

Benteng Van Den Bosh ( Benteng Pendem )


BENTENG PENDEM VAN DEN BOSCH (NGAWI JAWA TIMUR)

Benteng Pendem Van Den Bosch terletak di Kelurahan Pelem, Kecamatan Ngawi, Kabupatan Ngawi, Provinsi Jawa Timur. Menurut Pak Sarwo Selaku juru kunci, Benteng ini berdiri pada tahun 1825-1830. Benteng ini bertujuan  untuk menghadapi serangan perlawanan pejuang terhadap penjajah oleh pengikut Pangeran Diponegoro (Perang Jawa pada tahun 1825-1830) yang dipimpin oleh Wirotani. Berdiri di atas lahan seluas ± 1 Hektar, diapit oleh sungai Bengawan Solo pada sebelah utara  dan sungai Bengawan Madiun pada sebelah selatan, tembok benteng berbentuk persegi panjang serta unjungnya dilengkapi dengan Seleka (Bastion), dikelilingi dengan parit dan gundukan tanah, sehingga menjadikan Benteng ini sangat kokoh sebagai basis pertahanan terhadap serangan.

Johannes Graaf Van Den Bosch

Foto J.G Van Den Bosh

Johannes Graaf Van Den Bosch dilahirkan di Herwijnen Provinsi Gelderland, Belanda pada tanggal 2 Februari 1780. Bergabung dengan Dinas Militer pada usia 17 tahun dan ditempatkan di Unit Zeni Tempur. Kapal yang membawanya tiba di Pulau Jawa pada tahun 1797 berpangkat seorang Letnan, akan tetapi pangkatnya cepat dinaikan menjadi Kolonel. Karena berselisih pendapat dengan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels pada tahun 1810, Beliau dipulangkan ke Belanda. Diusia 28 tahun, Beliau mengundurkan diri dengan jabatan terakhir sebagai Kolonel. Kemudian Beliau diangkat kembali di Ketentaraan menjadi Panglima Maastricht dengan pangkat Mayor Jenderal.  Pada tahun 1827, Beliau diangkat menjadi Komisaris Jederal dan kembali ke Batavia sampai dengan menjabat sebagai Gubernur Hindia Belanda yang ke-43 pada tahun 1830-1834.


1.    Pintu Gerbang Depan (Pertama)

Benteng Van Den Bosch memang terlihat seperti terpendam, dikarenakan tertutup gundukan tanah yang sengaja dibangun sebagai tanggul untuk menghalau luapan air sungai Bengawan (Solo dan Madiun) serta menangkis serangan lawan.  Benteng ini dikelilingi oleh parit selebar ± 5 meter yang dahulunya dipelihara buaya buas, sehingga sulit dan berbahaya bagi tawanan dan pekerja rodi yang mencoba melarikan diri maupun pasukan pejuang yang akan menyerang. 

Pada pintu gerbang pertama, terdapat bekas pondasi jembatan angkat sebagai akses penghubung untuk menuju pintu gerbang depan pertama dan masih terdapat bekas gerigi katrol pengangkat jembatan.

2.    Pintu Gerbang Utama (Masuk)



Gambar Gerbang depan Benteng
Setelah melewati pintu gerbang depan, kemudian dilanjutkan memasuki pintu gerbang utama menuju dalam komplek benteng yang terdapat tulisan tahun 1839-1845 diatas pintu. Tahun tersebut menunjukan sebagai periode tahun pembuatan benteng Van Den Bosch.

3.       Kantor Utama 


Gambar kantor Utama

Bangunan dengan arsitektur bergaya Roman-Indische ini dahulunya digunakan sebagai gedung utama perkantoran bagi tentara Hindia Belanda. Pilar penopangnya begitu kokoh yang dipadu dengan pintu dan jendela besar yang sekilas seperti bangunan Romawi. Pada bagian interiornya masih terdapat lantai asli bercorak papan catur dengan aksen warna putih dan kuning. Kondisi bangunan ini sudah tidak beratap lagi dengan dinding sudah terkelupas.

4.    Makam KH. Muhammad Nursalim
Gaambar makam KH. Muhammad Nursalim


Beliau adalah tokoh penyi’ar Agama Islam pertama di Kabupaten Ngawi serta pahlawan bangsa pengikut Pangeran Diponegoro yang gugur akibat tertangkap oleh serdadu Belanda saat kalah berperang memberontak kepada penjajah.

Setelah tertangkap, Beliau dibawa kedalam benteng. Karena memiliki kesaktian, Beliau tidak mempan ditembak dan dibacok (disiksa), akan tetapi tentara Belanda tidak kehabisan akal, kemudian beliau dikuburkan hidup-hidup dalam posisi terikat kencang. Pemugaran makam Beliau selesai pada tanggal 17 Agustus 1992 oleh Komandan Batalyon Armed 12. Benteng Van Den Bosch sangatlah Istimewa karena didalam kompleknya terdapat sebuah makam pahlawan bangsa.

5.    Kantor Umum

Kondisi bangunan masih berdiri namun sudah tanpa atap, hanya sebagian saja yang tersisa dan dimanfaatkan sebagai tempat (sarang) burung walet. 

Dahulunya terdapat juga pilar-pilar  sebagai penopang yang bergaya Romawi, hal ini dikarenakan masih terdapat bekas landasan dari pilar tersebut. Kemungkinan berukuran jauh lebih besar dan tinggi dari pilar di bangunan kantor utama didepannya. Bangunan juga berlantai dua dengan tangga yang terbuat dari kayu sebagai akses menuju lantai atas. Bekas tangganya masih bisa dijumpai walaupun kayunya sudah tidak ada. Diantara kedua bangunan ini, terdapat lapangan yang dahulunya digunakan sebagai lokasi persiapan apel pasukan (upacara bendera). Disebelah baratnya, atau diatas pintu gerbang masuk  utama, terdapat bekas tempat menaruh Jam. Konon jam tersebut  loncengnya terdengar sangat keras saat akan diadakan aktifitas apel pasukan atau pergantian waktu.

6.    Sumur

Gambar Sumur

Tepat disebelah selatan dari bangunan kantor umum, terdapat dua buah sumur yang dahulunya digunakan oleh Belanda untuk membuang jenazah korban penangkapan (tahanan) dan para pekerja rodi sehingga menjadi sebuah kuburan masal. Tentara Hindia Belanda menangkap dan mengumpukan Pekerja dari sekitar wilayah Ngawi,  kemudian dipaksa untuk mengerjakan proyek pebangunan Benteng Van Den Bosch.

Pada sumur pertama yang berada di sebelah timur (masih terdapat tembok pembatasnya) para korban diceburkan kedalam sumur yang memiiki kedalaman ± 100-200 meter dalam kodisi meninggal maupun sakit setelah bekerja rodi. Kondisinya mengenaskan dan sebenarnya para korban minta untuk disempurnakan. Suasanya terasa panas dkarenakan mungkin terdapat 50 bahkan lebih jenazah yang masih terkubur dan belum diangkat, termasuk jenazah salah seorang Alim ulama Kyai yang turut diceburkan kedalam sumur ini.  

Sumur berikutnya yang terletak disebelah barat (sudah tidak terdapat lagi tembok pembatasnya dan hanya menyisakan bekas pondasi bata yang melingkar/ diratakan) kondisinya jauh lebih terasa panas dan gembur (terasa berbeda dengan tanah yang tidak masuk area bekas sumur), dikarenakan jumlah korban lebih banyak, termasuk digunakan sebagai lokasi pembuangan jenazah pembantaian anggota PKI pada kurun waktu tahun 1966-1968.  Menurut penuturan Bapak Tri Edi Sarwo, kontur tanah di sumur ini setiap hari menurun (amblas), sehingga untuk mengatasinya  ditimbun dengan tanah, rumput dan sampah, agar tidak terus turun. Kotatuaku juga turut mendoakan agar arwah para korban dapat diterima di sisi Tuhan Yang Maha Esa.

7.    Bangunan Gedung yang di Bom oleh Jepang
Gedung yang di Bom Jepang

Bangunan ini terletak disebelah (paling) selatan. Ukurannya seperti kantor umum dengan dua lantai dan diperkirakan merupakan bagian dari asrama/ barak bagi tentara/ serdadu Belanda, namun beberapa bagian sudah runtuh, terutama bagian atap dan beberapa temboknya, dikarenakan pernah di bom oleh tentara Dai Nippon (Jepang) pada kurun waktu 1942-1943/ saat perang Dunia II. Bagian bangunan yang lainnya sudah ditumbuhi oleh pohon beringin yang sangat besar dengan akar-akarnya yang mencengkram sebagian tembok bangunana ini. Pada bagian tengah bawah dari bangunan ini juga terdapat pintu gerbang yang menghadap kearah timur atau Sungai Bengawan Madiun, yang dahulunya di lokasi ini terdapat sebidang tanah (lapang kecil) untuk kegiatan mengumpulakan dan member makan kepada pekerja rodi.

8.    Ruang Penjara

Pada setiap tangga yang menuju ke lantai 2 pada bangunan yang dahulu digunakan sebagai asrama/ barak tentara ini, dibawah tangga tersebut dimanfaatkan sebagai penjara yang diperuntkan bagi tahanan  yang melawan/ menentang penjajahan Kolonial Belanda waktu itu. Terdapat tiga buah ruang penjara (setiap di bawah tangga), mulai dari yang berukuran besar. Sedang dan kecil (sangat sempit) mengikuti bentuk (tinggi) tangga tersebut yang ditujukan mengikuti kesalahan dari tahanan dari ringan, sedang sampai berat. Dahulunya tahanan tersebut dimasukan dalam kondisi ruangan yang berjubel sehingga pengat dan sesak. Dikarenakn tidak manusiawi, maka banyak dari para tahanan yang meninggal saat berada di ruang penjara ini dikarenakan sakit, tidak diberi makan dan harus berebut udara dengan tahanan lainnya. 

9.    Barak (Asrama) Tentara

Bangunan yang sebenarnya berlantai tiga ini adalah asrama/ barak yang diperuntukan bagi serdadu Belanda. Posisinya mengelilingi kantor Utama, kantor umum dan lapangan. Pada setiap gedung dilantai dua, dihubungkan dengan jembatan (penyeberangan).  

Kondisi bangunan sebagian ada yang tanpa atap, keropos dan ditumbuhi berbagai rumput, tanaman liar  bahkan akar pohon beringin. Selain itu bangunan ini digunakan sebagai penangkaran (sarang) burung Walet dan dijadikan sarang liar oleh Kelelawar. Kayu yang digunakan sebagai sekat antara lantai dasar dengan tingkat diatasnya, banyak yang sudah lapuk dan mulai keropos. Sebagian malah ada yang sudah ambrol, sehingga berbahaya bagi pegunjung.

10. Pintu Gerbang Belakang

Gerbang Belakang Benteng

Pintu Gerbang Belakang atau yang berada di bagian paling timur dari benteng Van Den Bosch, menghadap langsung ke arah pertemuan dua sungai besar (Bengawan Solo dan Madiun) yang dahulunya merupakan desa Ngawi Purba sebagai cikal bakal Kabupaten Ngawi. Pada gerbang ini terdapat jeruji pintu besi dan jika sudah keluar dari komplek Benteng, maka terdapat gundukan tanah dan parit.
foto bersama bapak Sarwo (sang juru Kunci)


Saat kami melakukan wawancara

Foto kebersamaan kami saat di benteng Pendem









Senin, 28 April 2014

Lumpang kenteng

Lumpang kenteng

 
Lumpang dari bagian samping atas

Lumpang merupakan wadah berbentuk bejana yang terbuat dari kayu atau batu untuk menumbuk padi, kopi, ataupun bahan olahan lainnya. Lumpang batu memiliki fungsi sebagai tempat menumbuk. Dalam kehidupan sehari-hari, lumpang digunakan untuk menumbuk padi, kopi ataupun bahan makanan yang perlu ditumbuk lainnya. Nama alat yang digunakan untuk menumbuk disebut dengan Alu. Biasanya, Alu terbuat dari kayu dengan bagian tengah yang mengecil untuk pegangan. Sedikit kembali jauh ke masa agak lampau, Lumpang juga dijadikan sebagai ‘mesin’ penumbuk padi. Namun umumnya, lumpang penumbuk padi tidak terbuat dari batu namun dari kayu. Lumpang yang dari kayu disebut dengan Lesung.

Sejarahnya, Batu Lumpang yang ada di desa Legundi itu awalnya adalah batu berukuran cukup besar. Lalu dipahat pada bagian tengahnya sehingga berlubang. Ukurannya kira kira dua pelukan tangan orang dewasa. Panjangnya kira kira dua meter. Memiliki ketinggian sekira 150 centimeter. Dulu, Batu Lumpang itu penting keberadaannya bagi masyarakat setempat.

Menurut bapak Suwono. Dulu lumpang kenteng itu pernah dibawa ke suatu tempat. Akan tetapi pada pagi harinya lumpang kenteng itu kembali ke tempat semula. Dan tidak ada yang tahu bagaimana kembalinya.



Gambar dari atas Lumpang Klenteng


            Dan hingga sampai sekarang lumpang tersebut dikeramatkan oleh masyarakat legundi. setiap ada orang ada yang mempunyai hajat. selalu mengirim doa ke lumpang kenteng di legundi. Itulah sekelumit cerita rakyat dari lingkungan legundi.


Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Lumpang



Situs Dr Radjiman Wedyodiningrat

Situs Rumah Dr. Radjiman Wedyodiningrat


Gerbang Pintu Masuk

Rumah Induk Dr Radjiman

Lumbung Padi


Meski telah berusia lebih dari 134 tahun, rumah tua yang terletak di Dusun Dirgo, Desa Kauman, Kecamatan Widodaren, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur, tersebut masih berdiri kokoh. Beberapa sudut bangunan terlihat baru saja direnovasi, namun tidak meninggalkan bentuk aslinya.

Warga desa setempat menyebut rumah tua itu dengan "Kanjengan", yakni rumah kediaman dr Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Radjiman Wedyodiningrat, sang pahlawan bangsa yang tak terlupakan.

Saat berkunjung ke rumah Dr Radjiman Wedyodiningrat kami harus menunggu sang juru kunci yaitu Bp. Sagimin, karena ia mempunyai kepentingan. Kami harus menunggu beliau kurang lebih selama 2 jam. Tak sia-sia kami menunggu, karena bisa mempelajari sejarah Situs Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Radjiman Wedyodiningrat.

Untuk memasuki kawasan situs, para pengunjung akan melewati sebuah gerbang yang besar. Pada gerbang itu terdapat tulisan "Situs Radjiman Wedyodiningrat". Setelah itu, pengunjung akan melewati jalan sepanjang 500 meter untuk menuju bangunan utama Kanjengan.

Banyak foto-foto yang terpajang di dinding Rumah Situs Dr. Radjiman Wedyodiningrat,  itulah yang menjadi saksi bisu bahwa Dr Radjiman memiliki peran penting bagi Bangsa Indonesia. Dan juga memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Presiden RI yang pertama yaitu, Ir Soekarno.

 
Foto Dr. Radjiman


Bangunan utama Kanjengan sangat sederhana. Nuansa perpaduan arisitektur Jawa dan Belanda sangat terasa pada bangunan tersebut. Langit-langit ruangannya tinggi, terbuat dari kayu. Demikian juga model pada daun pintu dan jendelanya, juga mengadopsi perpaduan dua gaya tersebut.

Perabotan yang ada di dalam rumah Dr. Radjiman (Masih Asli)


Meja Rias Dr. Radjiman (Asli)

Ranjang Dr Radjiman Wedyodiningrat (Asli)


“Hampir semua perabotan yang ada di Rumah Situs Dr Radjiman ini asli peninggalan dari Dr. radjiman. Pihak keluarga sengaja mempertahankannya karena kediaman Dr radjiman akan menjadi Situs sejarah” Ujar Bp Sagimin sang juru kunci. Mulai dari meja, kursi, almari, tempat tidur, meja rias, dan sejumlah perabotan lainnya, masih asli. Sudah menjadi tugas Sagimin untuk membersihkan perabotan tersebut agar tetap bersih dan tidak rusak.

Di Rumah ini, dulunya Dr Radjiman hidup bersama dua istri dan tiga orang anaknya. Selama masa hidupnya, Dr Radjiman memiliki lima orang istri yaitu,
1.      Ibu Rochani
2.      Fanmuyen
3.      Ibu karsinah
4.      Ibu Suki
5.      Ibu Sri mardikin
 empat istri merupakan warga Indonesia dan satu lainnya warga Belanda. Dari kelima istri tersebut, ia memiliki tiga anak dari istri yang berbeda.

Beliau datang  dan tinggal diwilayah tersebut pada tahun 1935, membeli sebuah rumah beserta pekarangan dan persawahan seluas total +/- 73 ha dari seorang tuan tanah. Dr.Rajiman menempati rumah tersebut sampai dengan wafatnya beliau di tahun 1951, pada usia 72 tahun.Dalam aktifitasnya selama tinggal di Dirgo dalam kurun waktu sekitar 26 tahun, Dr.Rajiman sering bolak - balik ke Jakarta untuk menghadiri rapat - rapat penting,mengingat  keberadaannya sebagai tokoh dan pejabat negara yaitu sebagai anggota DPR, dengan menggunakan jasa transportasi Kereta Api dari stasiun Walikukun yang hanya berjarak 1,5 Km dari rumahnya.Sebelum wafat Dr.Rajiman menjual areal pekarangan dan persawahan kepada masyarakat sekitar dengan harga yang sangat murah, dan hanya menyisakan untuk keluarganya seluas 7,5 ha saja.Ini wujud kepedulian dan kecintaan beliau kepada masyarakat sekitar.Dr.Rajiman wafat di rumah tersebut pada tahun 1951, dan Presiden RI saat itu Ir.Soekarno datang kerumah tersebut untuk melayat.Beliau di makamkan di makam keluarga di Yogyakarta.Dan atas jasa - jasa beliau selama hidupnya dalam memperjuangkan kemerdekaan maka pemerintah menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional.

Selain usulan dan dukungan untuk menjadi pahlawan nasional,  tempat kediaman Dr Radjiman di Dirgo, Ngawi, juga dijadikan sebagai situs sejarah. Keberadaan Situs ini dinilai semakin memperkaya potensi wisata sejarah yang berada di Kabupaten Ngawi.

“Situs ini telah sering didatangi oleh pengunjung yang ingin mengenal sosok Dr Radjiman lebih jauh. Kebanyakan yang datang adalah anak-anak sekolah dan mahasiswa. Mereka datang untuk belajar sejarah tentang peranan dr Radjiman bagi kemerdekaan Bangsa Indonesia," ujar Juru Kunci , Bp Sagimin.

Kediaman Dr Radjiman akan menjadi satu rangkaian dari sejumlah tempat sejarah lainnya yang ada di Ngawi untuk pengembangan pariwisata Sejarah.


Foto di Gapura Depan Rumah Dr. Radjiman


Foto di Garasi Samping Rumah Dr. Radjiman


Foto di Halaman depan Rumah Dr. Radjiman


Saat Wawancara dengan bapak Sagimin (Sang Juru Kunci)


Foto bersama bapak Sagimin
Foto bersama bapak Sagimin

Sumber : http://www.antarasumsel.com/print/264442/radjiman-wedyodiningrat-pahlawan-yang-terlupakan


Asal-usul Kota Ngawi

Asal usul kota Ngawi


Tugu selamat datang di kota Ngawi

Menurut mbah Ngajiman nama ngawi berasal dari “awi” atau “bambu” yang selanjutnya mendapat tambahan huruf sengau “ng” menjadi “ngawi”.

Demikian pula halnya dengan ngawi yang berasal dari “awi” menunjukkan suatu tempat yaitu sekitar pinggir ”Bengawan Solo” dan ”Bengawan Madiun” yang banyak tumbuh pohon “awi”. Tumbuhan “awi” atau “bambu” mempunyai arti yang sangat bernilai, yaitu :
1.      Dalam kehidupan sehari-hari Bambu bagi masyarakat desa mempunyai peranan penting apalagi dalam masa pembangunan ini.
2.      Dalam Agama Budha , hutan bambu merupakan tempat suci :
·         Raja Ajatasatru setelah memeluk agama Budha, ia menghadiahkan sebuah ” hutan yang penuh dengan tumbuh-tumbuhan bambu” kepada sang Budha Gautama.
·         Candi Ngawen dan Candi Mendut yang disebut sebagai Wenu Wana Mandira atau Candi Hutan Bambu (Temple Of The Bamboo Grove), keduanya merupakan bangunan suci Agama Budha.
3.      Pohon Bambu dalam Karya Sastra yang indah juga mampu menimbulkan inspirasi pengandaian yang menggetarkan jiwa.

Berdasarkan penelitian benda-benda kuno, menunjukkan bahwa di Ngawi telah berlangsung suatu aktifitas keagamaan sejak pemerintahan Airlangga dan rupanya masih tetap bertahan hingga masa akhir Pemerintahan Raja Majapahit. Fragmen-fragmen Percandian menunjukkan sifat kesiwaan yang erat hubungannya dengan pemujaan Gunung Lawu (Girindra), namun dalam perjalanan selanjutnya terjadi pergeseran oleh pengaruh masuknya Agama Islam serta kebudayaan yang dibawa Bangsa Eropa khususnya belanda yang cukup lama menguasai pemerintahan di Indonesia, disamping itu Ngawi sejak jaman prasejarah mempunyai peranan penting dalam lalu lintas (memiliki posisi Geostrategis yang sangat penting).

Tugu selamat jalan kota Ngawi



Sumber : http://ratu-kidol.blogspot.com/2011/05/asal-mula-kota-ngawi.html